(KASUS:
Pencemaran Sungai Citarum)
Air merupakan salah
satu komponen abiotik terpenting dalam kehidupan di Bumi. Air merupakan
kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi, sehingga tidak ada kehidupan
seandainya di bumi tidak ada air. Air yang relatif bersih sangat didambakan
oleh manusia, baik untuk keperluan hidup sehari-hari, untuk keperluan industri,
untuk kebersihan sanitasi kota, maupun untuk keperluan pertanian dan lain
sebagainya (Setiari, 2012). Karena pentingnya peranan
air bagi kehidupan makhluk hidup maka sumber daya air dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai yang
dicantumkan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 (Rohmat, 2010).
Bumi menjadi layak
untuk dihuni karena keterdapatan air yang melimpah di atas permukaannya.
Sekitar dua per tiga dari permukaan bumi tertutupi air, sisanya merupakan
daratan. Jika dipikir sekilas tidak ada yang perlu dikhawatirkan atas
ketersediaan air di Bumi karena merupakan komponen abiotik terbanyak yang bisa
ditemukan. Pun juga fungsi utamanya sebagai faktor penting kehidupan masih
dapat berlangsung. Namun, dari sekian jumlah air di Bumi tidak semuanya dapat
dimanfaatkan oleh manusia dikarenakan tidak layak digunakan (Rohmat, 2010).
Perkiraan jumlah air di
permukaan Bumi sekitar 1,457 milyar km3. Dari jumlah air ini tidak
semua dapat dimanfaatkan manusia, 93,93% air tersebut terdapat di lautan; 1,65%
dalam bentuk glasier dan es beku di kutub; 4,39% merupakan air tanah; 0,005%
air dalam kelembaban tanah (soil water); 0,001% air di atmosfer; dan hanya
0,0001% air yang mengalir di sungai-sungai. Jika dilihat dari komposisi air
tersebut maka air yang dapat dimanfaatkan manusia sebanyak 4,4121% yang terdiri
atas 4,39 air tanah, 0,0161% air permukaan termasuk danau dan sungai, dan
0,006% air di udara dan kelembaban tanah (Raudkivi dalam Rohmat, 2010).
Angka-angka tersebut di atas belum tentu akurat dan pasti nilainya tetapi mampu menginterpretasikan bahwa meskipun air menutupi sebagian besar Bumi, hanya sedikit sekali air yang dapat mendukung kehidupan manusia secara langsung. Jika secara kuantitas jumlah air tetap, di sisi lain jumlah kebutuhan air akan terus meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan industri. Semakin banyak hasil sampingan dari aktivitas manusia akan menghasilkan polutan yang dapat mencemari sumber daya air di lingkungan. Pengalihan fungsi lahan menjadi pemukiman membuat aliran air tidak banyak meresap dalam tanah. Jika hal ini terus dibiarkan maka krisis air bersih akan terjadi di berbagai belahan Bumi ini, banjir terjadi pada musim hujan dan kekeringan terjadi pada musim kemarau. Sebelum kondisi tersebut terjadi semakin parah, upaya konservasi sumber daya air secara nyata diperlukan dalam rangka menjaga dan meningkatkan kuantitas, kualitas dan kontinuitas (berkesinambungan) ketersediaan air bagi makhluk hidup.
Sebelum upaya konservasi dilakukan ada baiknya untuk memahami kasus yang pernah terjadi terkait dampak pengolahan air yang buruk. Salah satu kasus yang sedang banyak disoroti adalah pencemaran air yang terjadi di Sungai Citarum. Berangkat dari kasus tersebut diharapkan upaya konservasi dapat diusahakan secara maksimal.
AIR DAN MANFAATNYA BAGI KEHIDUPAN
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang
memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta
untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor
utama pembangunan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2010).
Air merupakan salah satu senyawa kimia yang terdapat
di alam dan jumlahnya sangat berlimpah akan tetapi ketersediaan air yang
memenuhi syarat bagi keperluan manusia relatif sedikit karena dibatasi oleh
berbagai faktor. Meskipun dalam kenyataannya kita dikelilingi oleh air,
sebagaimana data menunjukkan bahwa air menutupi sekitar 70 % dari permukaan
bumi atau dua pertiga permukaan Bumi, namun hanya sekitar 2,5 % dari
ketersediaan air tersebut yang berpotensi dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup, dan
sekitar satu per tiga dari 2,5% tersebut berupa es. Akibatnya hanya sekitar 1
persen dari keseluruhan ketersediaan air yang sebenarnya dapat dikonsumsi manusia
(Percik, 2012).
Kebutuhan akan sumber daya air terus meningkat seiring
pertambahan penduduk dan perkembangan industri. Manfaat air dapat dirasakan
hampir di setiap elemen pemenuhan kebutuhan manusia. Sebagai sumber bahan
pangan, manusia dan hewan dapat memperoleh makanan dari perairan seperti
berbagai jenis ikan, udang dan kerang. Di Indonesia, yang merupakan negara
kepulauan, menggunakan transportasi air sebagai salah satu sarana transportasi yang
dapat menghubungkan antarpulau. Sebagai energi alternatif, dengan memanfaatkan
pergerakan air untuk menghasilkan listrik. Sebagai sarana rekreasi, banyaknya
pengunjung yang memilih wisata danau, pantai dan laut untuk mengisi waktu
liburnya. Tidak hanya sebagai pemenuh kebutuhan manusia, air merupakan
penyeimbang komponen-komponen yang terdapat di alam sehingga siklus
biogeokimiawi dapat berlangsung. Unsur-unsur dan material akan terus menerus
mengalir menggunakan medium air sehingga terjadi sebuah siklus (Putrawan, 2014).
Berdasarkan data yang diperoleh oleh Unesco (2003)
penggunaan air dilihat dari tiga aspek utama penggunaannya, yaitu industri,
pertanian dan rumah tangga. Perbedaan besar yang terjadi antara penggunaan air
di area perindustrian dan pertanian berbanding terbalik antara negara maju dan
negara berkembang. Di Negara maju kebutuhan terhadap air untuk mengembangkan
industrinya sebesar 59% sedangkan pengunaan air untuk kebutuhan pertanian hanya
30%. Di Negara berkembang, sebaliknya, penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan
pertanian sebesar 82% sedangkan untuk industri hanya 10%. Rata-rata kebutuhan
skala rumah tangga relatif sama antara negara maju dan berkembang.
Air bukan hanya dimanfaatkan manusia dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti minum, mandi memasak, mencuci, menyiram tanaman, dll, tetapi juga dibutuhkan pada sektor pertanian dan perindustrian yang jumlah kebutuhannya lebih besar untuk mendukung perkembangan ekonomi suatu negara. Persentase di atas mengisyaratkan pula bahwa kemungkinan yang benar apabila kedua sektor ini mengembalikan airnya ke lingkungan (sungai atau selokan) sebagai limbah maka ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu menurunkan kualitas air atau dapat mencemari lingkungan.
Air bukan hanya dimanfaatkan manusia dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti minum, mandi memasak, mencuci, menyiram tanaman, dll, tetapi juga dibutuhkan pada sektor pertanian dan perindustrian yang jumlah kebutuhannya lebih besar untuk mendukung perkembangan ekonomi suatu negara. Persentase di atas mengisyaratkan pula bahwa kemungkinan yang benar apabila kedua sektor ini mengembalikan airnya ke lingkungan (sungai atau selokan) sebagai limbah maka ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu menurunkan kualitas air atau dapat mencemari lingkungan.
KONDISI SUMBER DAYA AIR WILAYAH CITARUM
Wilayah
Sungai Citarum mencakup tiga belas sungai, yaitu sungai Citarum, Cipamingkis,
Cibeet, Cikao, Cilamaya, Ciherang, Cijengkol, Ciasem, Cigadung, Cipunagara,
Cipancuh, Bekasi, dan Cikarang. Tidak semua sungai tersebut bermasalah, yang
terparah adalah kasus yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Sungai
Citarum memiliki luas wilayah sekitar 6.080 km2 dengan panjang sekitar 269 km
(Angelie, 2015)
Air sungai Citarum dimanfaatkan sebagai sumber air
baku air minum untuk Jakarta, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten
Purwakarta, Kabupaten Bandung, dan Kota Bandung. Itu berarti, PDAM daerah
tersebut mengambil air dari Sungai Citarum untuk diolah dan digunakan
masyarakat. Sungai Citarum juga pemasok air untuk 3 waduk, yaitu Waduk
Saguling, Wadk Cirata dan Waduk Jatiluhur (Juanda). Saat ini diperkirakan 8
juta penduduk yang bermukim di kawasan DAS Citarum dan kira-kira 1000 industri
yang beroperasi bergantung pada sungai ini (Rohmat, 2012).
Sumber air Citarum dimanfaatkan untuk berbagai
kebutuhan hidup masyarakat dan proses pembangunan, antara lain sumber baku air
minum wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta, pembangkit listrik, air irigasi,
perikanan dan peternakan, sumber baku air industri, pariwisata, sarana olahraga
dan lain sebagainya. Limbah baik dari industri maupun domestik juga akan
mengalir ke Sungai Citarum dan akan terus bertambah seiring bertambahnya jumlah
penduduk dan perkembangan industri. Jika hal tersebut terus terjadi tanpa
dikelola dengan baik, dikhawatirkan Sungai Citarum tidak lagi menjadi sumber
penghidupan melainkan menjadi sumber bencana di waktu yang akan datang (Rohmat,
2012).
Menurut Kodoatie dan Roestam (2010) di ruang DAS
persoalan akan menyangkut dua hal penting yaitu konservasi air dalam
pengelolaan sumber daya air dan kawasan budi daya dalam penataan ruang. Di satu
sisi untuk memnuhi aspek konservasi adalah mengusahakan agar aliran permukaan
(run-off) dapat ditahan sebesar-besarnya dan memberi kesempatan air untuk masuk
ke dalam tanah (infiltrasi) selama-lamanya. Di sisi lainnya adalah
pengalihfungsian kawasan konservasi menjadi kawasan budi daya misalnya menjadi
kawasan pemukiman. Dampak yang terjadi adalah peningkatan kuantitas dan
kualitas kebutuhan air sekaligus penurunan ketersediaan air karena adanya
daerah alih fungsi dan laju aliran air yang berpotensi menimbulkan banjir.
Selama 20 dekade terakhir, dampak kerusakan
lingkungan dan pencemaran yang terjadi pada DAS Citarum sudah dapat dirasakan.
Beberapa pengamatan dan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kualitas
air sungai Citarum menurun drastis akibat pencemaran dan sedimentasi. Di bagian
hulu sungai, kualitas airnya sudah tidak layak lagi masuk dalam baku mutu air yang
baik bahkan bila digunakan untuk perikanan dan pertanian (Rohmat, 2012).
Berdasarkan Pasal 8 PP No 82 Tahun 2001 kualitas air tersebut masuk dalam
kategori kelas tiga dan kelas empat yang merupakan kategori terbawah.
Penelitian yang dilakukan Happy R (2012) diperoleh
hasil bahwa konsentrasi logam berat timbal dan kadmium pada DAS Citarum telah
melebihi ambang batas. Nilai kasaran konsentrasi untuk timbal adalah 0,01 -
0,08 mg/L sedangkan menurut PP No. 82 Tahun 2001 pada kelas 3 tidak boleh
melebihi 0,03 mg/L. Konsentrasi cadmium berkisar 0,003 – 0,01 mg/L dan masih
dalam kisaran ambang batas yang diperbolehkan. Kadar timbal yang tinggi
tersebut diakibatkan banyaknya limbah industri dan limbah aktvitas manusia yang
dibuang ke aliran sungai.
Sejalan dengan hasil penelitian di atas Supangat dan Paimin (2007) juga mendapatkan hasil bahwa baku mutu air Sungai Citarum secara umum belum memenuhi kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Pencemaran tersebut dilihat melalui beberapa parameter, yaitu COD, BOD, kandungan amoniak bebas, nitrit dan kekeruhan.
SOLUSI TERHADAP KASUS SUNGAI CITARUM
Beberapa solusi yang dapat diberikan untuk kasus
yang terjadi di Sungai Citarum adalah sebagai berikut:
1. Melakukan upaya konservasi sumber daya
air bersamaan dengan mengoptimalkan pendayagunaan air dan pengendalian daya
rusak air (Kodoatie dan Roestam, 2010).
2. Memfasilitasi, meningkatkan dan
mengembangkan peran masyarakat (pemberdayaan) dalam usaha dari berbagai solusi
yang diberikan karena keterbatasan peran pemerintah (Rohmat, 2012).
3. Mendukung dan mendorong kebijakan
pemerintah yang berpihak pada upaya konservasi sumber daya air, dalam berbagai
bentuk dan skala kegiatan (Rohmat, 2010)
4. Menerapkan gaya hidup hijau (green life
style) lingkungan dengan menghemat air dan kegiatan green skill berupa membuat
lubang resapan biopori dan menanam dan merawat tumbuhan
5. Memaksimalkan fungsi
waduk sebagai purifikator bahan pencemar di Sungai Citarum dan perawatan waduk
secara berkala (Supangat dan Paimin, 2007).
UPAYA KONSERVASI SUMBER DAYA AIR
Konservasi air tidak hanya difokuskan
pada bagaimana memanfaatkan air seefisien mungkin secara berkelanjutan tetapi
juga usaha yang dilakukan agar limpasan air hujan tidak segera mengalir menuju
aliran sungai melainkan mampu tersimpan dalam tanah (Riastika, 2011). Pada
dasarnya konservasi sumber daya air dapat dikelompokkan menjadi dua kegiatan,
yaitu kegiatan yang struktural dan kegiatan non struktural. Kegiatan struktural
terdiri dari kegiatan konstruksi yang menyangkut perbaikan struktur dan sarana penggunaan
lahan misalnya pembuatan berbagai tipe terasering, sumbat gully, dam penahan,
rorak, sumur resapan, embung, waduk dan lain-lain. Sedangkan kegiatan non
struktural terbagi menjadi dua, yaitu kegiatan vegetatif (penghijauan) dan
kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi dan edukasi. Kebijakan
pemerintah dan peran serta NGO (Non Government Organization) untuk mengawal
pengelolaan air yang bertanggung jawab (Rohmat, 2010).
Upaya konservasi berupa kegiatan
struktural memerlukan perencanaan dan pelaksanaan dalam jangka waktu yang
panjang. Peran serta masyarakat dalam usaha pengelolaan kebutuhan air
membutuhkan waktu yang relatif singkat dan melalui tindakan langsung yang
berdampak. Hal yang bisa dilakukan adalah mengurangi jumlah pemakaian air atau
lebih tepatnya menggunakan air se-efisien mungkin. Pengurangan konsumsi
pengolaan air bermanfaat dari berbagai segi, yaitu finansial, ekologi, dan
sosial. Pengurangan konsumsi air tidak hanya berpengaruh pada biaya yang harus
dibayar, melainkan juga mengurangi energi yang dibutuhkan untuk mengolah air menjadi
layak pakai, berkurangnya biaya pengolaan dan distribusi air serta mengurangi
jumlah luaran air limbah. Jika energi yang dibutuhkan berkurang maka jumlah
emisi akan berkurang. Distribusi air akan merata baik pada masyarakat mampu dan
tidak mampu karena kapasitas air masih tercukupi untuk seluruh masyarakat
(Mungkasa, 2012).
Selain usaha yang disebutkan di atas, pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran
air tanah dimasukkan untuk mempertahankan dan memulihkan
kualitas air tanah sesuai dengan kondisi alaminya. Pengelolaan kualitas dan
pengendalian pencemaran air tanah dilaksanakan dengan beberapa cara, yaitu
mencegah pencemaran air tanah, memulihkan kualitas air tanah yang telah
tercemar, mengawasi penyebab pencemaran air baik dari limbah industri maupun
domestik (Riastika, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Angelie. 2015. Sungai
Citarum. [Online] http://www.kompasiana.com/angelie/sungai-citarum_5500b7298133112019fa7cb9
Diakses pada tanggal 27 Desember 2015
Happy R, Arief, Masyamsir dan Yayat Dhahiyat. 2012.
Distribusi Kandungan Logam Berat Pb dan Ca Pada Kolom Air dan Sedimen Daerah
Aliran Sungai Citarum Hulu. Jurnal Perikanan dan Kelautan (3): 175 - 182
Kementerian
Negara Lingkungan Hidup. 2010. Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Tata Laksana
Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta.
Kodoatie,
Robert J dan Roestam Sjarief. 2010. Tata
Ruang Air. Yogyakarta: C.V ANDI
Mungkasa, Oswar. 2012. Pengelolaan
Kebutuhan Air: Upaya Konservasi Air Skala Rumah Tangga. Majalah Percik Edisi Desember 2012
Putrawan,
I Made. 2014. Konsep-Konsep Dasar Ekologi
Dalam Berbagai Aktivitas Lingkungan. Bandung: Alfabeta
Riastika, Meyra. 2011. Pengelolaan Air Tanah
Berbasis Konservasi di Recharge Area Boyolali. Jurnal Ilmu Lingkungan (9): 86-97
Rohmat,
Dede. 2010. Upaya Konservasi untuk Kesinambungan Ketersediaan Sumber Daya Air. Makalah Talkshow dalam ranga memperingati
Hari Air “Air untuk Kehidupan Manusia, Senin 22 Maret 2010.
Setiari,
Ni Made. 2012. Identifikasi Sumber Pencemar dan
Analisis Kualitas Air Tukad Yeh Sungi di Kabupaten Tabanan dengan Metode Indeks
Pencemaran. (Thesis). Ilmu
Lingkungan, Universitas Udayana
Unesco.
2003. Water for People: The United
Nations World Water Development Report. Paris: Unesco Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar